Minggu, 03 April 2011

Rahasia Tahlil Penganiayaan.

      Dalam dunia fana ini banyak orang yang menyalah gunakan ayat-ayat Allah,mengaku berma'rifat, tapi tak mengenali ma'rifat yang sebenarnya,mengaku ta'at beragama, tapi menjual ayat-ayat Allah dengan kemegahan dunia, mengaku 'alim, tapi hobi melanggar ketentuan-ketentuan dan taqdir Allah,ia mengalih istilah istidraj kepada tanda tingginya ma'rifat, mengalih istilah bala' pada besarnya ni'mat,sungguh perilaku itu adalah tanda-tanda sudah dekatnya kehancuran islam,salah satu contoh: ditemukan zikir dengan menyabut "Lailaha ilallah" dengan hitungan yang banyak itu adalah seafdal-afdal zikir,tapi sangat disayangkan istilah keafdalan zikir itu telah dialih letak oleh orang-orang yang tidak Rhida dengan ketentuan allah kepada menganiaya orang lain,sebab kedengkian yang telah menguasai hatinya, atau mengharapkan kepingan uang yang sedikit, atau pujian manusia 'awam yang tidak ada artinya, atau kemuliaan dimata orang-orang besar dan pejabat, ia mengorbankan 'aqidah dan sengaja mengalih tujuan zikir, ia membolak-balikkan ma'na zikir dengan menghakikatkan kalimah "la" dengan tubuh kasar orang yang dutuju, kalimah "ilaha" dengan hati orang yang dituju, kalimah "illa" dengan  nyawa orang yang dituju,kalimah "allah" dengan rahasia orang yang dituju,kemudian ia tinggal memainkan perannya,mau diapakan orang itu,karena dia telah memegang hakikat diri orang itu,banyak yang terjerumus dalam kesesatan ini karena jauhnya dari ni'mat Allah,syetan selalu menghasut nafsu angkaranya agar orang lain binasa kalimah Allah yang suci,betapa banyaknya korban ditemukan lalu lalang dengan pakaian compang camping kehilangan malu,kehilangan harga diri,kehilangan kewarasan,terputusnya syaraf,yang sering disebut telah gila, ia mengira bahwa ia menang, penganiayaannya membekas,padahal disisi Allah ia dalam kutukan,calon penghuni jahannam,na'uzubillahi min zalik.

Sabtu, 02 April 2011

IMAM DARIMI

IMAM DARIMI

Pertumbuhan beliau

Nama: Beliau adalah Abdullah bin Abdurrahman bin al Fadhl bin Bahram bin Abdush Shamad.
Kuniyah beliau; Abu Muhammad
Nasab beliau:
1. At Tamimi; adalah nisbah yang ditujukan kepada satu qabilah Tamim.
2. Ad Darimi; adalah nisbah kepada Darim bin Malik dari kalangan at Tamimi. Dengan nisbah ini beliau terkenal.
3. As Samarqandi; yaitu nisbah kepada negri tempat tinggal beliau
Tanggal lahir: Ia di lahirkan pada taun 181 H, sebagaimana yang di terangkan oleh imam Ad Darimi sendiri, beliau menuturkan; ‘aku dilahirkan pada tahun meninggalnya Abdullah bin al Mubarak, yaitu tahun seratus delapan puluh satu.
Ada juga yang berpendapat bahwa beliau lahir pada tahun seratus delapan puluh dua hijriah.
Aktifitas beliau dalam menimba ilmu

Allah menganugerahkan kepada iama Ad Darimi kecerdasan, pikiran yang tajam dan daya hafalan yang sangat kuat, teristimewa dalam menghafal hadits. Beliau berjumpa dengan para masyayikh dan mendengar ilmu dari mereka. Akan tetapi sampai sekarang kami tidak mendapatkan secara pasti sejarah beliau dalam memulai menuntut ilmu
Beliau adalah sosok yang tawadldlu’ dalam hal pengambilan ilmu, mendengar hadits dari kibarul ulama dan shigharul ulama, sampai-sampai dia mendengar dari sekelompok ahli hadits dari kalangan teman sejawatnya, akan tetapi dia jua seorang yang sangat selektif dan berhati-hati, karena dia selalu mendengar hadits dari orang-orang yang terpercaya dan tsiqah, dan dia tidak meriwayatkan hadits dari setiap orang.
Rihlah beliau

Rihlah dalam rangka menuntut ilmu merupakan bagian yang sangat mencolok dan sifat yang paling menonjol dari tabiat para ahlul hadits, karena terpencarnya para pengusung sunnah dan atsar di berbagai belahan negri islam yang sangat luas. Maka Imam ad Darimi pun tidak ketinggalan dengan meniti jalan pakar disiplin ilmu ini.
Diantara negri yang pernah beliau singgahi adalah;
1. Khurasan
2. Iraq
3. Baghdad
4. Kufah
5. Wasith
6. Bashrah
7. Syam; Damasqus, Himash dan Shur.
8. Jazirah
9. Hijaz; Makkah dan Madinah.

Guru-guru beliau

Guru-guru imam Ad Darimi yang telah beliau riwayatkan haditsnya adalah;
1. Yazid bin Harun
2. Ya’la bin ‘Ubaid
3. Ja’far bin ‘Aun
4. Basyr bin ‘Umar az Zahrani
5. ‘Ubaidullah bin Abdul Hamid al Hanafi
6. Hasyim bin al Qasim
7. ‘Utsman bin ‘Umar bin Faris
8. Sa’id bin ‘Amir adl Dluba’i
9. Abu ‘Ashim
10. ‘ubaidullah bin Musa
11. Abu al Mughirah al Khaulani
12. Abu al Mushir al Ghassani
13. Muhammad bin Yusuf al Firyabi
14. Abu Nu’aim
15. Khalifah bin Khayyath
16. Ahmad bin Hmabal
17. Yahya bin Ma’in
18. Ali bin Al Madini
Dan yang lainnya
Murid-murid beliau

Sebagaimana kebiasaan ahlul hadits, ketika mereka mengetahui bahwa seorang alim mengetahui banyak hadits, maka mereka berbondong-bondong mendatangi alim tersebut, guna menimba ilmu yang ada pada diri si ‘alim. Begitu juga dengan Imam Ad Darimi, ketika para penuntut ilmu mengetahui kapabaliti dalam bidang hadits yang dimiliki imam, maka berbondong-bondong penuntut ilmu mendatanginya, diantara mereka itu adalah;
1. Imam Muslim bin Hajaj
2. Imam Abu Daud
3. Imam Abu ‘Isa At Tirmidzi
4. ‘Abd bin Humaid
5. Raja` bin Murji
6. Al Hasan bin Ash Shabbah al Bazzar
7. Muhammad bin Basysyar (Bundar)
8. Muhammad bin Yahya
9. Baqi bin Makhlad
10. Abu Zur’ah
11. Abu Hatim
12. Shalih bin Muhammad Jazzarah
13. Ja’far al Firyabi
14. Muhammad bin An Nadlr al Jarudi
Dan masih banyak lagi yang lainnya.
Persaksian para ulama terhadap beliau
1. Imam Ahmad menuturkan; (Ad Darimi) imam.
2. Muhammad bin Basysyar Bundar menuturkan; penghafal dunia ada empat: Abu Zur’ah di ar Ray, Muslim di an Nasaiburi, Abdullah bin Abdurrahman di Samarqandi dan Muhamad bin Ismail di Bukhara”.
3. Abu Sa’id al Asyaj menuturkan; ‘Abdullah bin Abdirrahman adalah imam kami.’
4. Muhammad bin Abdullah al Makhrami berkata; ‘wahai penduduk Khurasan, selagi Abdullah bin Abdurrahman di tengah-tengah kalian, maka janganlah kalian menyibukkan diri dengan selain dirinya.’
5. Raja` bin Murji menuturkan; ‘aku telah melihat Ibnu Hambal, Ishaq bin Rahuyah, Ibnu al Madini dan Asy Syadzakuni, tetapi aku tidak pernah melihat orang yang lebih hafizh dari Abdullah.
6. Abu Hatim berkata; Muhammad bin Isma’il adalah orang yang paling berilmu yang memasuki Iraq, Muhammad bin Yahya adalah orang yang paling berilmu yang berada di Khurasan pada hari ini, Muhammad bin Aslam adalah orang yang paling wara’ di antara mereka, dan Abdullah bin Abdurrahman orang yang paling tsabit diantara mereka.
7. Ad Daruquthni menuturkan; ‘ tsiqatun masyhur.
8. Muhammad bin Ibrahim bin Manshur as Sairazi menuturkan; “Abdullah adalah puncak kecerdasan dan konsistensi beragama, di antara orang yang menjadi teladan dalam kesantunan, keilmuan, hafalan, ibadah dan zuhud”.

Hasil karya beliau

1. Sunan ad Darimi.
2. Tsulutsiyat (kitab hadits)
3. al Jami’
4. Tafsir
Wafatnya beliau

Beliau meninggal dunia pada hari Kamis bertepatan dengan hari tarwiyyah, 8 Dzulhidjah, setelah ashar tahun 255 H, dalam usia 75 tahun. Dan dikuburkan keesokan harinya, Jumat (hari Arafah).

IMAM ABU DAUD

Imam Abu Daud
Nama lengkap Abu Dawud ialah Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishak bin Basyir bin Syidad bin Amar al-Azdi as-Sijistani.Beliau adalah Imam dan tokoh ahli hadits, serta pengarang kitab sunan. Beliau dilahirkan tahun 202 H. di Sijistan. Sejak kecil Abu Dawud sangat mencintai ilmu dan sudah bergaul dengan para ulama untuk menimba ilmunya. Sebelum dewasa, dia sudah mempersiapkan diri untuk melanglang ke berbagai negeri. Dia belajar hadits dari para ulama yang ditemuinya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar, Khurasan dan negeri lainnya. Pengemba-raannya ke beberapa negeri itu menunjang dia untuk mendapatkan hadits sebanyak-banyaknya. Kemudian hadits itu disaring, lalu ditulis pada kitab Sunan. Abu Dawud sudah berulang kali mengunjungi Bagdad. Di kota itu, dia me-ngajar hadits dan fiqih dengan menggunakan kitab sunan sebagai buku pe-gangan. Kitab sunan itu ditunjukkan kepada ulama hadits terkemuka, Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa kitab itu sangat bagus.
Guru-gurunya
Jumlah guru Imam Abu Dawud sangat banyak. Di antara gurunya yang paling menonjol antara lain: Ahmad bin Hanbal, al-Qan’abi, Abu Amar ad-Darir, Muslim bin Ibrahim, Abdullah bin raja’, Abdul Walid at-Tayalisi dan lain--lain. Sebagian gurunya ada yang menjadi guru Bukhari dan Muslim, seperti Ahmad bin Hanbal, Usman bin Abu Syaibah dan Qutaibah bin sa’id.
Murid-muridnya
Ulama yang pernah menjadi muridnya dan yang meriwayatkan hadits-nya antara lain Abu Isa at-Tirmizi, Abu Abdur Rahman an-Nasa’i, putranya sendiri Abu Bakar bin Abu Dawud, Abu Awana, Abu Sa’id aI-Arabi, Abu Ali al-Lu’lu’i, Abu Bakar bin Dassah, Abu Salim Muhammad bin Sa’id al-Jaldawi dan lain-lain.
Sifat dan kepribadiannya
Abu Dawud termasuk ulama yang mencapai derajat tinggi dalam beribadah, kesucian diri, kesalihan dan wara’ yang patut diteladani. Sebagian ulama berkata: "Perilaku Abu Dawud, sifat dan kepribadiannya menyerupai Imam Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad bin Hanbal menyerupai Waki’, Waki' seperti Sufyan as-Sauri, Sufyan seperti Mansur, Mansur menyerupai Ibrahim an-Nakha’i, Ibrahim menyerupai Alqamah. "Alqamah seperti Ibnu Mas’ud, dan Ibnu Mas’ud seperti Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Sifat dan kepribadian seperti ini menunjukkan kesempurnaan beragama, prilaku dan akhlak Abu Dawud.Abu Dawud mempunyai falsafah tersendiri dalam berpakaian. Salah satu lengan bajunya lebar dan satunya lagi sempit. Bila ada yang bertanya, dia menjawab: "Lengan yang lebar ini untuk membawa kitab, sedang yang satunya tidak diperlukan. Kalau dia lebar, berarti pemborosan."
Ulama memuji Abu Dawud 
Abu Dawud adalah seorang tokoh ahli hadits yang menghafal dan memahami hadits beserta illatnya. Dia mendapatkan kehormatan dari para ulama, terutama dari gurunya, Imam Ahmad bin Hanbal.
Al-Hafiz Musa bin Harun berkata: "Abu Dawud diciptakan di dunia untuk Hadits, dan di akhirat untuk surga. Aku tidak pernah melihat orang yang lebih utama dari dia."  
Sahal bin Abdullah at-Tastari, seorang sufi yang alim mengunjungi Abu Dawud dan berkata: "Saya adalah Sahal, datang untuk mengunjungimu." Abu Dawud menyambutnya dengan hormat dan mempersilakan duduk. Lalu Sahal berkata: "Abu Dawud, saya ada keperluan." Dia bertanya: "Keperluan apa?" Sahal menjawab: "Nanti saya katakan, asalkan engkau berjanji memenuhi permintaanku." Abu Dawud menjawab: "Jika aku mampu pasti kuturuti." Lalu Sahal mengatakan: "Julurkanlah lidahmu yang engkau gunakan meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam sehingga aku dapat menciumnya" Lalu Abu Dawud menjulurkan lidahnya kemudian dicium Sahal.
Ketika Abu Dawud menyusun kitab sunan, Ibrahim al-Harbi, seorang Ulama hadits, berkata: "Hadits telah dilunakkan bagi Abu Dawud, sebagai-mana besi dilunakkan untuk Nabi Dawud." Ungkapan itu adalah perumpama-an bagi keistimewaan seorang ahli hadits. Dia telah mempermudah yang rumit dan mendekatkan yang jauh, serta memudahkan yang sukar.

Seorang Ulama hadits dan fiqih terkemuka yang bermazhab Hanbali, Abu Bakar al-Khallal, berkata: "Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’as as-Sijistani adalah Imam terkemuka pada jamannya, penggali beberapa bidang ilmu sekaligus mengetahui tempatnya, dan tak seorang pun di masanya dapat me-nandinginya.
Abu Bakar al-Asbihani dan Abu Bakar bin Sadaqah selalu menyanjung Abu Dawud, dan mereka memujinya yang belum pernah diberikan kepada siapa pun di masanya.Mazhab yang diikuti Abu Dawud
Syaikh Abu Ishaq As-Syirazi dalam Tabaqatul Fuqaha menggolong-kan Abu Dawud sebagai murid Imam Ahmad bin Hanbal. Begitu pula Qadi Abdul Husain Muhammad bin Qadi Abu Ya’la (wafat tahun 526 H.) yang termaktub dalam kitab Tabaqatul Hanabilah. Penilaian ini disebabkan, Imam Ahmad adalah guru Abu Dawud yang istimewa. Ada yang mengatakan bahwa dia bermazhab Syafi’i.
Memuliakan ilmu dan ulama
Sikap Abu Dawud yang memuliakan ilmu dan ulama ini dapat diketahui dari kisah yang diceritakan oleh Imam al-Khattabi dari Abu Bakar bin Jabir, pembantu Abu Dawud. Dia berkata: "Aku bersama Abu Dawud tinggal di Bagdad. Di suatu saat, ketika kami usai melakukan shalat magrib, tiba-tiba pintu rumah diketuk orang, lalu kubuka pintu dan seorang pelayan melaporkan bahwa Amir Abu Ahmad al-Muwaffaq minta ijin untuk masuk. Kemudian aku memberitahu Abu Dawud dan ia pun mengijinkan, lalu Amir duduk. Kemudian Abu Dawud bertanya: "Apa yang mendorong Amir ke sini?" Amir pun menjawab "Ada tiga kepentingan". "Kepentingan apa?" Tanya Abu Dawud. Amir mengatakan: "Sebaiknya anda tinggal di Basrah, supaya para pelajar dari seluruh dunia belajar kepadamu. Dengan demikian kota Basrah akan makmur lagi. Karena Basrah telah hancur dan ditinggalkan orang akibat tragedi Zenji."
Abu Dawud berkata: "itu yang pertama, lalu apa yang kedua?" Amir menjawab: "Hendaknya anda mau mengajarkan sunan kepada anak-anakku." "Yang ketiga?" tanya Abu Dawud. "Hendaklah anda membuat majlis tersendiri untuk mengajarkan hadits kepada keluarga khalifah, sebab mereka enggan duduk bersama orang umum." Abu Dawud menjawab: "Permintaan ketiga tidak bisa kukabulkan. Sebab derajat manusia itu, baik pejabat terhormat maupun rakyat jelata, dalam menuntut ilmu dipandang sama." Ibnu Jabir menjelaskan: "Sejak itu putra-putra khalifah menghadiri majlis taklim, duduk bersama orang umum, dengan diberi tirai pemisah".
Begitulah seharusnya, ulama tidak mendatangi raja atau penguasa, tetapi merekalah yang harus mengunjungi ulama. Itulah kesamaan derajat dalam mencari ilmu pengetahuan.
Wafatnya
Setelah hidup penuh dengan kegiatan ilmu, mengumpulkan dan menyebarluaskan hadits, Abu Dawud wafat di Basrah, tempat tinggal atas per-mintaan Amir sebagaimana yang telah diceritakan. la wafat tanggal 16 Syawal 275 H. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan ridanya kepada-nya.
Putra Abu Dawud
Imam Abu Dawud meninggalkan seorang putra bernama Abu Bakar Abdullah bin Abu Dawud. Dia adalah seorang Imam hadits putra seorang imam hadits pula. Dilahirkan tahun 230 H. dan wafat tahun 316 H.
Kitab karangan Abu Dawud
Abu Dawud mempunyai karangan yang banyak, antara lain:
1. Kitab as-Sunan
2. Kitab al-Marasil
3. Kitab al-Qadar
4. An-Nasikh Wal Mansukh
5. Fada'ilul A’mal
6. Kitab az-Zuhud
7. Dalailun Nubuwah
8. Ibtida’ul Wahyu
9. Ahbarul Khawarij
Di antara kitab tersebut, yang paling populer adalah kitab as-Sunan, yang biasa dikenal dengan Sunan Abu Dawud.
Sumber: Fi Rihabi as-Sunnah al Kutubi al-Shihahi al-Sittah

IMAM NASA'I

 Imam Nasa'i
Nama lengkap: Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr,Kuniyah beliau: Abu Abdirrahman
Nasab beliau: An Nasa`i dan An Nasawi, yaitu nisbah kepada negri asal beliau, tempat beliau di lahirkan. Satu kota bagian dari Khurasan.Imam nasa'i Lahir Tahun 215 hijriah.
Sifat-sifat beliau:

An Nasa`i merupakan seorang lelaki yang ganteng, berwajah bersih dan segar, wajahnya seakan-akan lampu yang menyala. Beliau adalah sosok yang karismatik dan tenang, berpenampilan yang sangat menarik. Kondisi itu karena beberapa faktor, diantaranya; dia sangat memperhatikan keseimbangan dirinya dari segi makanan, pakaian, dan kesenangan, minum sari buah yang halal dan banyak makan ayam.

Aktifitas beliau dalam menimba ilmu

Imam Nasa`i memulai menuntut ilmu lebih dini, karena beliau mengadakan perjalanan ke Qutaibah bin Sa’id pada tahun 230 hijriah, pada saat itu beliau berumur 15 tahun. Beliau tinggal di samping Qutaibah di negrinya Baghlan selama setahun dua bulan, sehingga beliau dapat menimba ilmu darinya begitu banyak dan dapat meriwayatkan hadits-haditsnya.

Imam Nasa`i mempunyai hafalan dan kepahaman yang jarang di miliki oleh orang-orang pada zamannya, sebagaimana beliau memiliki kejelian dan keteliatian yang sangat mendalam. maka beliau dapat meriwayatkan hadits-hadits dari ulama-ulama kibar, berjumpa dengan para imam huffazh dan yang lainnya, sehingga beliau dapat menghafal banyak hadits, mengumpulkannya dan menuliskannya, sampai akhirnya beliau memperoleh derajat yang pantas dalam disiplin ilmu ini.

Beliau telah menulis hadits-hadits dla’if, sebagaimana beliaupun telah menulis hadits-hadits shahih, padahal pekerjaan ini hanya di lakukan oleh ulama pengkritik hadits, tetapi imam Nasa`i mampu untuk melakukan pekerjaan ini, bahkan beliau memiliki kekuatan kritik yang detail dan akurat, sebagaimana yang di gambarkan oleh al Hafizh Abu Thalib Ahmad bin Sazhr; ‘ siapa yang dapat bersabar sebagaimana kesabaran An Nasa`i? dia memiliki hadits Ibnu Lahi’ah dengan terperinci – yaitu dari Qutaibah dari Ibnu Lahi’ah-, maka dia tidak meriwayatkan hadits darinya.’ Maksudnya karena kondisi Ibnu Lahi’ah yang dla’if.

Dengan ini menunjukkan, bahwa tendensi beliau bukan hanya memperbanyak riwayat hadits semata, akan tetapi beliau berkeinginan untuk memberikan nasehat dan menseterilkan syarea’at (dari bid’ah dan hal-hal yang diada-adakan)
Sebagaimana imam Nasa`i selalu berhati-hati dalam mendengar hadits dan selalu selektif dalam meriwayatkannya. Maka ketika beliau mendengar dari Al Harits bin Miskin, dan banyak meriwayatkan darinya, akan tetapi beliau tidak mengatakan; ‘telah menceritakan kepada kami,’ atau ‘telah mengabarkan kepada kami,’ secara serampangan, akan tetapi dia selalu berkata; ‘dengan cara membacakan kepadanya dan aku mendengar.’ Para ulama menyebutkan, bahwa faktor imam Nasa`i melakukan hal tersebut karena terdapat kerenggangan antara imam Nasa`i dengan Al Harits, dan tidak memungkinkan baginya untuk menghadiri majlis Al Harits, kecuali beliau mendengar dari belakang pintu atau lokasi yang memungkinkan baginya untuk mendengar bacaan qari` dan beliau tidak dapat melihatnya.

Pengembaraan beliau

Imam Nasa`i mempunyai lawatan ilmiah cukup luas, beliau berkeliling kenegri-negri Islam, baik di timur maupun di barat, sehingga beliau dapat mendengar dari banyak orang yang mendengar hadits dari para hafizh dan syaikh.
Di antara negri yang beliau kunjungi adalah sebagai berikut;
  1. Khurasan
  2. Iraq; Baghdad, Kufah dan Bashrah
  3. Al Jazirah; yaitu Haran, Maushil dan sekitarnya.
  4. Syam
  5. Perbatasan; yaitu perbatasan wilayah negri islam dengan kekuasaan Ramawi
  6. Hijaz
  7. Mesir
Guru-guru beliau

Kemampuan intelektual Imam Nasa’i menjadi matang dan berisi dalam masa lawatan ilmiahnya. Namun demikian, awal proses pembelajarannya di daerah Nasa’ tidak bisa dikesampingkan begitu saja, karena di daerah inilah, beliau mengalami proses pembentukan intelektual, sementara masa lawatan ilmiahnya dinilai sebagai proses pematangan dan perluasan pengetahuan.
Di antara guru-guru beliau, yang teradapat didalam kitab sunannya adalah sebagai berikut;
  1. Qutaibah bin Sa’id
  2. Ishaq bin Ibrahim
  3. Hisyam bin ‘Ammar
  4. Suwaid bin Nashr
  5. Ahmad bin ‘Abdah Adl Dabbi
  6. Abu Thahir bin as Sarh
  7. Yusuf bin ‘Isa Az Zuhri
  8. Ishaq bin Rahawaih
  9. Al Harits bin Miskin
  10. Ali bin Kasyram
  11. Imam Abu Dawud
  12. Imam Abu Isa at Tirmidzi. Dan yang lainnya.
Murid-murid beliau

Murid-murid yang mendengarkan majlis beliau dan pelajaran hadits beliau adalah;
  1. Abu al Qasim al Thabarani
  2. Ahmad bin Muhammad bin Isma’il An Nahhas an Nahwi
  3. Hamzah bin Muhammad Al Kinani
  4. Muhammad bin Ahmad bin Al Haddad asy Syafi’i
  5. Al Hasan bin Rasyiq
  6. Muhmmad bin Abdullah bin Hayuyah An Naisaburi
  7. Abu Ja’far al Thahawi
  8. Al Hasan bin al Khadir Al Asyuti
  9. Muhammad bin Muawiyah bin al Ahmar al Andalusi
  10. Abu Basyar ad Dulabi
  11. Abu Bakr Ahmad bin Muhammad as Sunni. Dan yang lainnya
Persaksian para ulama terhadap beliau

Dari kalangan ulama seperiode beliau dan murid-muridnya banyak yang memberikan pujian dan sanjungan kepada beliau, diantara mereka yang memberikan pujian kepada beliau adalah;
  1. Abu ‘Ali An Naisaburi menuturkan; ‘beliau adalah tergolong dari kalangan imam kaum muslimin.’ Sekali waktu dia menuturkan; beliau adalah imam dalam bidang hadits dengan tidak ada pertentangan.’
  2. Abu Bakr Al Haddad Asy Syafi’I menuturkan; ‘aku ridla dia sebagai hujjah antara aku dengan Allah Ta’ala.’
  3. Manshur bin Isma’il dan At Thahawi menuturkan; ‘beliau adalah salah seorang imam kaum muslimin.’
  4. Abu Sa’id bin yunus menuturkan; ‘ beliau adalah seorang imam dalam bidang hadits, tsiqah, tsabat dan hafizh.’
  5. Al Qasim Al Muththarriz menuturkan; ‘beliau adalah seorang imam, atau berhak mendapat gelar imam.’
  6. Ad Daruquthni menuturkan; ‘Abu Abdirrahman lebih di dahulukan dari semua orang yang di sebutkan dalam disiplin ilmu ini pada masanya.’
  7. Al Khalili menuturkan; ‘beliau adalah seorang hafizh yang kapabel, di ridlai oleh para hafidzh, para ulama sepakat atas kekuatan hafalannya, ketekunannya, dan perkataannya bisa dijadikan sebagai sandaran dalam masalah jarhu wa ta’dil.’
  8. Ibnu Nuqthah menuturkan; ‘beliau adalah seorang imam dalam disiplin ilmu ini.’
  9. Al Mizzi menuturkan; ‘beliau adalah seorang imam yang menonjol, dari kalangan para hafizh, dan para tokoh yang terkenal.’
Hasil karya beliau

Imam Nasa`i mempunyai beberapa hasil karya, diantaranya adalah;
  1. As Sunan Ash Shughra
  2. As Sunan Al Kubra
  3. Al Kuna
  4. Khasha`isu ‘Ali
  5. ‘Amalu Al Yaum wa Al Lailah
  6. At Tafsir
  7. Adl Dlu’afa wa al Matrukin
  8. Tasmiyatu Fuqaha`i Al Amshar
  9. Tasmiyatu man lam yarwi ‘anhu ghaira rajulin wahid
  10. Dzikru man haddatsa ‘anhu Ibnu Abi Arubah
  11. Musnad ‘Ali bin Abi Thalib
  12. Musnad Hadits Malik
  13. Asma`u ar ruwah wa at tamyiz bainahum
  14. Al Ikhwah
  15. Al Ighrab
  16. Musnad Manshur bin Zadzan
  17. Al Jarhu wa ta’dil
Wafatnya beliau

Setahun menjelang kemangkatannya, beliau pindah dari Mesir ke Damsyik. Dan tampaknya tidak ada konsensus ulama tentang tempat meninggal beliau. Al-Daruqutni mengatakan, beliau di Makkah dan dikebumikan diantara Shafa dan Marwah. Pendapat yang senada dikemukakan oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-’Uqbi al-Mishri.

Sementara ulama yang lain, seperti Imam al-Dzahabi, menolak pendapat tersebut. Ia mengatakan, Imam al-Nasa’i meninggal di Ramlah, suatu daerah di Palestina. Pendapat ini didukung oleh Ibn Yunus, Abu Ja’far al-Thahawi (murid al-Nasa’i) dan Abu Bakar al-Naqatah.

Menurut pandangan terakhir ini, Imam al-Nasa’i meninggal pada tahun 303 H dan dikebumikan di Bait al-Maqdis, Palestina. Inna lillah wa Inna Ilai Rajiun. Semoga jerih payahnya dalam mengemban wasiat Rasullullah guna menyebarluaskan hadis mendapatkan balasan yang setimpal di sisi Allah. Amiiin.

IMAM IBNU MAJAH

Imam Ibn Maja

Ibn Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya. Ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak menghafal hadits.
Imam Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Rabi’i al-Qarwini, pengarang kitab As-Sunan dan kitab-kitab bemanfaat lainnya. Kata “Majah” dalam nama beliau adalah dengan huruf “ha” yang dibaca sukun; inilah pendapat yang shahih yang dipakai oleh mayoritas ulama, bukan dengan “ta” (majat) sebagaimana pendapat sementara orang. Kata itu adalah gelar ayah Muhammad, bukan gelar kakeknya, seperti diterangkan penulis Qamus jilid 9, hal. 208. Ibn Katsir dalam Al-Bidayah wan-Nibayah, jilid 11, hal. 52.

Imam Ibn Majah dilahirkan di Qaswin pada tahun 209 H, dan wafat pada tanggal 22 Ramadhan 273 H. Jenazahnya dishalatkan oleh saudaranya, Abu Bakar. Sedangkan pemakamannya dilakukan oleh kedua saudaranya, Abu Bakar dan Abdullah serta putranya, Abdullah.

Pengembaraannya

Ia berkembang dan meningkat dewasa sebagai orang yang cinta mempelajari ilmu dan pengetahuan, teristimewa mengenai hadits dan periwayatannya. Untuk mencapai usahanya dalam mencari dan mengumpulkan hadits, ia telah melakukan lawatan dan berkeliling di beberapa negeri. Ia melawat ke Irak, Hijaz, Syam, Mesir, Kufah, Basrah dan negara-negara serta kota-kota lainnya, untuk menemui dan berguru hadits kepada ulama-ulama hadits. Juga ia belajar kepada murid-murid Malik dan al-Lais, rahimahullah, sehingga ia menjadi salah seorang imam terkemuka pada masanya di dalam bidang ilmu nabawi yang mulia ini.

Aktivitas Periwayatannya

Ia belajar dan meriwayatkan hadits dari Abu Bakar bin Abi Syaibah, Muhammad bin Abdullah bin Numair, Hisyam bin ‘Ammar, Muhammad bin Ramh, Ahmad bin al-Azhar, Bisyr bin Adan dan ulama-ulama besar lain.

Sedangkan hadits-haditsnya diriwayatkan oleh Muhammad bin ‘Isa al-Abhari, Abul Hasan al-Qattan, Sulaiman bin Yazid al-Qazwini, Ibn Sibawaih, Ishak bin Muhammad dan ulama-ulama lainnya.

Penghargaan Para Ulama Kepadanya

Abu Ya’la al-Khalili al-Qazwini berkata: “Ibn Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya. Ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak menghafal hadits.”
Zahabi dalam Tazkiratul Huffaz, melukiskannya sebagai seorang ahli hadits besar mufasir, pengarang kitab sunan dan tafsir, serta ahli hadits kenamaan negerinya.
Ibn Kasir, seorang ahli hadits dan kritikus hadits berkata dalam Bidayah-nya: “Muhammad bin Yazid (Ibn Majah) adalah pengarang kitab sunan yang masyhur. Kitabnya itu merupakan bukti atas amal dan ilmunya, keluasan pengetahuan dan pandangannya, serta kredibilitas dan loyalitasnya kepada hadits dan usul dan furu’.”
Karya-karyanya

Imam Ibn Majah mempunyai banyak karya tulis, di antaranya:
• Kitab As-Sunan, yang merupakan salah satu Kutubus Sittah (Enam Kitab Hadits yang Pokok).
• Kitab Tafsir Al-Qur’an, sebuah kitab tafsir yang besar manfatnya seperti diterangkan Ibn Kasir.
• Kitab Tarikh, berisi sejarah sejak masa sahabat sampai masa Ibn Majah.

Sekilas Tentang Sunan Ibn Majah

Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Ibn Majah terbesar yang masih beredar hingga sekarang. Dengan kitab inilah, nama Ibn Majah menjadi terkenal.
Ia menyusun sunan ini menjadi beberapa kitab dan beberapa bab. Sunan ini terdiri dari 32 kitab, 1.500 bab. Sedang jumlah haditsnya sebanyak 4.000 buah hadits.
Kitab sunan ini disusun menurut sistematika fiqh, yang dikerjakan secara baik dan indah. Ibn Majah memulai sunan-nya ini dengan sebuah bab tentang mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Dalam bab ini ia menguraikan hadits-hadits yang menunjukkan kekuatan sunnah, kewajiban mengikuti dan mengamalkannya.

Kedudukan Sunan Ibn Majah di antara Kitab-kitab Hadits

Sebagian ulama tidak memasukkan Sunan Ibn Majah ke dalam kelompok “Kitab Hadits Pokok” mengingat darjat Sunan ini lebih rendah dari kitab-kitab hadits yang lima.
Sebagian ulama yang lain menetapkan, bahwa kitab-kitab hadits yang pokok ada enam kitab (Al-Kutubus Sittah/Enam Kitab Hadits Pokok), yaitu:
• Shahih Bukhari, karya Imam Bukhari.
• Shahih Muslim, karya Imam Muslim.
• Sunan Abu Dawud, karya Imam Abu Dawud.
• Sunan Nasa’i, karya Imam Nasa’i.
• Sunan Tirmidzi, karya Imam Tirmidzi.
• Sunan Ibn Majah, karya Imam Ibn Majah.

Ulama pertama yang memandang Sunan Ibn Majah sebagai kitab keenam adalah al-Hafiz Abul-Fardl Muhammad bin Tahir al-Maqdisi (wafat pada 507 H) dalam kitabnya Atraful Kutubus Sittah dan dalam risalahnya Syurutul ‘A’immatis Sittah.
Pendapat itu kemudian diikuti oleh al-Hafiz ‘Abdul Gani bin al-Wahid al-Maqdisi (wafat 600 H) dalam kitabnya Al-Ikmal fi Asma’ ar-Rijal. Selanjutnya pendapat mereka ini diikuti pula oleh sebahagian besar ulama yang kemudian.
Mereka mendahulukan Sunan Ibn Majah dan memandangnya sebagai kitab keenam, tetapi tidak mengkategorikan kitab Al-Muwatta’ karya Imam Malik sebagai kitab keenam, padahal kitab ini lebih shahih daripada Sunan Ibn Majah, hal ini mengingat bahwa Sunan Ibn Majah banyak zawa’idnya (tambahannya) atas Kutubul Khamsah. Berbeda dengan Al-Muwatta’, yang hadits-hadits itu kecuali sedikit sekali, hampir seluruhnya telah termuat dalam Kutubul Khamsah.
Di antara para ulama ada yang menjadikan Al-Muwatta’ susunan Imam Malik ini sebagai salah satu Usul us-Sittah (Enam Kitab Pokok), bukan Sunan Ibn Majah. Ulama pertama yang berpendapat demikian adalah Abul Hasan Ahmad bin Razin al-Abdari as-Sarqisti (wafat sekitar tahun 535 H) dalam kitabnya At-Tajrid fil Jam’i Bainas-Sihah. Pendapat ini diikuti oleh Abus Sa’adat Majduddin Ibnul Asir al-Jazairi asy-Syafi’i (wafat 606 H). Demikian pula az-Zabidi asy-Syafi’i (wafat 944 H) dalam kitabnya Taysirul Wusul.

Nilai Hadits-hadits Sunan Ibn Majah

Sunan Ibn Majah memuat hadits-hadits shahih, hasan, dan da’if (lemah), bahkan hadits-hadits munkar dan maudhu’ meskipun dalam jumlah sedikit.
Martabat Sunan Ibn Majah ini berada di bawah martabat Kutubul Khamsah (Lima Kitab Pokok). Hal ini kerana kitab sunan ini yang paling banyaknya hadits-hadits da’if di dalamnya.
Oleh kerana itu tidak sayogianya kita menjadikan hadits-hadits yang dinilai lemah atau palsu dalam Sunan Ibn Majah ini sebagai dalil. Kecuali setelah mengkaji dan meneliti terlebih dahulu mengenai keadaan hadits-hadits tersebut. Bila ternyata hadits dimaksud itu shahih atau hasan, maka ia boleh dijadikan pegangan. Jika tidak demikian adanya, maka hadits tersebut tidak boleh dijadikan dalil.

Sulasiyyat Ibn Majah

Ibn Majah telah meriwayatkan beberapa buah hadits dengan sanad tinggi (sedikit sanadnya), sehingga antara dia dengan Nabi SAW hanya terdapat tiga perawi. Hadits semacam inilah yang dikenal dengan sebutan Sulasiyyat.

Sumber: Kitab Hadits Shahih yang Enam, Muhammad Abu Syuhbah.

BIOGRAFI IMAM TIRMIZI

AL-IMAM TIRMIZI

Khazanah keilmuan Islam klasik mencatat sosok Imam Tirmizi sebagai salah satu periwayat dan ahli Hadits utama, selain Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan sederet nama lainnya. Karyanya, Kitab Al Jami', atau biasa dikenal dengan kitab Jami' Tirmizi, menjadi salah satu rujukan penting berkaitan masalah Hadits dan ilmunya, serta termasuk dalam Kutubus Sittah (enam kitab pokok di bidang Hadits) dan ensiklopedia Hadits terkenal. Sosok penuh tawadhu' dan ahli ibadah ini tak lain adalah Imam Tirmizi.

Ia dilahirkan pada 279 H di kota Tirmiz, Imam Tirmizi bernama lengkap Imam Al-Hafiz Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Ad-Dahhak As-Sulami At-Tirmizi. Sejak kecil, Imam Tirmizi gemar belajar ilmu dan mencari Hadits. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri, antara lain Hijaz, Irak, Khurasan, dan lain-lain.

Dalam lawatannya itu, ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru Hadits untuk mendengar Hadits dan kemudian dihafal dan dicatatnya dengan baik. Di antara gurunya adalah; Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud. Selain itu, ia juga belajar pada Imam Ishak bin Musa, Mahmud bin Gailan, Said bin Abdurrahman, Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni', dan lainnya.

Perjalanan panjang pengembaraannya mencari ilmu, bertukar pikiran, dan mengumpulkan Hadits itu mengantarkan dirinya sebagai ulama Hadits yang sangat disegani kalangan ulama semasanya. Kendati demikian, takdir menggariskan lain. Daya upaya mulianya itu pula yang pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra. Dalam kondisi seperti inilah, Imam Tirmizi meninggal dunia. Ia wafat di Tirmiz pada usia 70 tahun.

Di kemudian hari, kumpulan Hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama, di antaranya; Makhul ibnul-Fadl, Muhammad bin Mahmud Anbar, Hammad bin Syakir, Abd bin Muhammad An-Nasfiyyun, Al-Haisam bin Kulaib Asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf An-Nasafi, Abul-Abbas Muhammad bin Mahbud Al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami' daripadanya, dan lain-lain. Mereka ini pula murid-murid Imam Tirmizi.

Banyak kalangan ulama dan ahli Hadits mengakui kekuatan dan kelebihan dalam diri Imam Tirmizi. Selain itu, kesalehan dan ketakwaannya pun tak dapat diragukan lagi. Salah satu ulama itu, Ibnu Hibban Al-Busti, pakar Hadits, mengakui kemampuan Tirmizi dalam menghafal, menghimpun, menyusun, dan meneliti Hadits, sehingga menjadikan dirinya sumber pengambilan Hadits para ulama terkenal, termasuk Imam Bukhari.

Sementara kalangan ulama lainnya mengungkapkan, Imam Tirmizi adalah sosok yang dapat dipercaya, amanah, dan sangat teliti. Kisah yang dikemukakan Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib At-Tahzibnya, dari Ahmad bin Abdullah bin Abu Dawud, berikut adalah salah satu bukti kelebihan sang Imam :

Saya mendengar Abu Isa At-Tirmizi berkata, "Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Mekkah, dan ketika itu saya telah menulis dua jilid buku berisi Hadits-hadits berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Dia mengira bahwa 'dua jilid kitab' itu ada padaku. Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya bertemu dengannya, saya memohon kepadanya untuk mendengar Hadits, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan Hadits yang telah dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahwa kertas yang kupegang ternyata masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Melihat kenyataan itu, ia berkata, 'Tidakkah engkau malu kepadaku?' Lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahwa apa yang ia bacakan itu telah kuhafal semuanya. 'Coba bacakan!' perintahnya. Aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi, 'Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?' Aku menjawab, 'Tidak.' Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan Hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan 40 Hadits yang tergolong Hadits-hadits sulit atau gharib lalu berkata, 'Coba ulangi apa yang kubacakan tadi!' Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai, dan ia berkomentar, 'Aku belum pernah melihat orang seperti engkau.' "

Selain dikenal sebagai ahli dan penghafal Hadits, mengetahui kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya, Imam Tirmizi juga dikenal sebagai ahli fiqh dengan wawasan dan pandangan luas. Pandangan-pandangan tentang fiqh itu misalnya, dapat ditemukan dalam kitabnya Al-Jami'.

Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh ini pula mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya. Sebagai tamsil, penjelasannya terhadap sebuah Hadits mengenai penangguhan membayar piutang yang dilakukan si berutang yang sudah mampu, sebagai berikut: "Muhammad bin Basysyar bin Mahdi menceritakan kepada kami. Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abi Az-Zunad, dari Al-Arai dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda: Penangguhan membayar utang (yang dilakukan oleh si berutang) yang mampu adalah suatu kezaliman. Apabila seseorang di antara kamu dipindahkan utangnya kepada orang lain yang mampu membayar, hendaklah pemindahan utang itu diterimanya."

Bagaimana penjelasan sang Imam? Berikut ini komentar beliau, "Sebagian ahli ilmu berkata: 'Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang mampu membayar dan ia menerima pemindahan itu, maka bebaslah orang yang memindahkan (muhil) itu, dan bagi orang yang dipindahkan piutangnya (muhtal) tidak dibolehkan menuntut kepada muhil.' Sementara sebagian ahli lainnya mengatakan: 'Apabila harta seseorang (muhtal) menjadi rugi disebabkan kepailitan muhal 'alaih, maka baginya dibolehkan menuntut bayar kepada orang pertama (muhil). Alasannya adalah, tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim. Menurut Ibnu Ishak, perkataan 'Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim' ini adalah 'Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang dikiranya mampu, namun ternyata orang lain itu tidak mampu, maka tidak ada kerugian atas harta benda orang Muslim (yang dipindahkan utangnya) itu'." demikian penjelasan Imam Tirmizi.

Ini adalah satu contoh yang menunjukkan kepada kita, betapa cemerlangnya pemikiran fiqh Imam Tirmizi dalam memahami nash-nash Hadits, serta betapa luas dan orisinal pandangannya itu. Hingga meninggalnya, Imam Tirmizi telah menulis puluhan kitab, diantaranya: Kitab Al-Jami', terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmizi, Kitab Al-'Ilal, Kitab At-Tarikh, Kitab Asy-Syama'il an-Nabawiyyah, Kitab Az-Zuhd, dan Kitab Al-Asma' wal-Kuna.

Selain dikenal dengan sebutan Kitab Jami' Tirmizi, kitab ini juga dikenal dengan nama Sunan At-Tirmizi. Di kalangan muhaddisin (ahli Hadits), kitab ini menjadi rujukan utama, selain kitab-kitab hadits lainnya dari Imam Bukhari maupun Imam Muslim.

Kitab Sunan Tirmizi dianggap sangat penting lantaran kitab ini betul-betul memperhatikan ta'lil (penentuan nilai) Hadits dengan menyebutkan secara eksplisit Hadits yang sahih. Itu sebabnya, kitab ini menduduki peringkat ke-4 dalam urutan Kutubus Sittah, atau menurut penulis buku Kasyf Az Zunuun, Hajji Khalfah (w. 1657), kedudukan Sunan Tirmizi berada pada tingkat ke-3 dalam hierarki Kutubus Sittah.

Tidak seperti kitab Hadits Imam Bukhari, atau yang ditulis Imam Muslim dan lainnya, kitab Sunan Tirmizi dapat dipahami oleh siapa saja, yang memahami bahasa Arab tentunya. Dalam menyeleksi Hadits untuk kitabnya itu, Imam Tirmizi bertolak pada dasar apakah Hadits itu dipakai oleh fuqaha (ahli fikih) sebagai hujjah (dalil) atau tidak. Sebaliknya, Tirmizi tidak menyaring Hadits dari aspek Hadits itu dhaif atau tidak. Itu sebabnya, ia selalu memberikan uraian tentang nilai Hadits, bahkan uraian perbandingan dan kesimpulannya.

Diriwayatkan, bahwa ia pernah berkata: "Semua Hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan." Oleh karena itu, sebagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua Hadits, yaitu: Pertama, yang artinya: "Sesungguhnya Rasulullah SAW menjamak shalat Dhuhur dengan Ashar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab takut dan dalam perjalanan.'' Juga Hadits, "Jika ia peminum khamar, minum lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia." Hadits mengenai hukuman untuk peminum khamar ini adalah mansukh (terhapus) dan ijma' ulama pun menunjukkan demikian. Sedangkan mengenai shalat jamak, para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebagian besar ulama berpendapat boleh hukumnya melakukan shalat jamak di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibn Sirin dan Asyab serta sebagian besar ahli fiqh dan ahli Hadits juga Ibn Munzir.

Beberapa keistimewaan Kitab Jami' atau Sunan Tirmizi adalah, pencantuman riwayat dari sahabat lain mengenai masalah yang dibahas dalam Hadits pokok (Hadits al Bab), baik isinya yang semakna maupun yang berbeda, bahkan yang bertentangan sama sekali secara langsung maupun tidak langsung.

Selain itu, keistimewaan yang langsung kaitannya dengan ulum al Hadits (ilmu-ilmu Hadits) adalah masalah ta'lil Hadits. Hadits-hadits yang dimuat disebutkan nilainya dengan jelas, bahkan nilai rawinya yang dianggap penting. Kitab ini dinilai positif karena dapat digunakan untuk penerapan praktis kaidah-kaidah ilmu Hadits, khususnya ta'lil Hadits tersebut.

RUJUKAN:(HADIS WEB)http://opi.110mb.com/haditsweb/sejarah/sejarah_singkat_imam_tirmizi.htm

IMAM AL-GHAZALI


HUJJATUL ISLAM IMAM AL-GHAZALI

Hujjatul Islam Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali, Muhammad bin Muhammad bin Muhammad At-Thusi, yang digelar dengan gelaran Zainuddin. Beliau dilahirkan di Thus dari iklim Khurasan pada tahun 450 Hijrah. Beliau berasal dari keluarga yang amat sederhana. Bapanya dari kalangan yang tidak berpelajaran, tidak pandai menulis. Beliau melakukan kerja menenun wool lalu dijual di kedainya di Thus. Walaupun tidak berpelajaran, tetapi beliau tidak mahu anak-anaknya mengikuti jejak langkah beliau. Sifat ini merupakan satu sifat yang mulia yang perlu ada dalam setiap diri individu muslim kerana umum mengetahui tentang kepentingan ilmu pengetahuan untuk kejayaan dunia dan akhirat. Menjelang saat-saat kematian, beliau telah mewasiatkan Al-Ghazali dan seorang saudaranya iaitu Ahmad kepada seorang ahli sufi yang merupakan sahabat beliau. Beliau berpesan agar sahabatnya memelihara kedua-duanya dan memberi mereka pendidikan sehingga habis harta peninggalannya nanti.

Setelah bapanya meninggal dunia, maka tinggallah Al-Ghazali dan saudaranya bersama sahabat bapanya, seorang ahli sufi dan ahli kebaikan. Beliau mengajar kedua-duanya sehingga habis semua harta peninggalan orang tua beliau. Ahli sufi tersebut sudah tidak mampu lagi untuk membiayai mereka berdua, lalu meminta mereka untuk menuntut di sekolah supaya segala keperluan makan dan minum mereka terjaga.. Al-Ghazali akur dan itulah yang menjadi sebab kepada kebahagian dan ketinggian darjat mereka berdua.

Ketika Al-Ghazali masih kanak-kanak lagi, beliau telah mempelajari pelbagai ilmu daripada ramai guru yang berada di serata tempat dan ceruk rantau. Pertamanya, beliau telah mempelajari beberapa tajuk dari fiqh di negeri Thus dengan Imam Ahmad Ar-Radzakani, kemudian beliau pergi ke Jurjan untuk belajar dari Imam Abi Nashr Al-Isma’ili. Selepas itu beliau kembali semula ke Thus.Kemudian Al-Ghazali datang ke ‘Nisabur’ dan telah mendekati Imam Al-Haramain Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini ( 419-478 Hijrah). Beliau telah belajar dengan bersungguh-sungguh dan berijtihad sehingga mahir dalam mazhab ( Syafi’i), perselisihan, debat, usuluddin, usul fiqh, mantiq, membaca hikmah dan falsafah. Beliau mampu menguasai seluruhnya sehingga beliau bangun berhujjah dan membatalkan sesetengah dakwaan mereka. Beliau telah menyusun kitab-kitab dari pelbagai aspek ilmu yang telah dipelajari dengan susunan yang baik dan kedudukan yang lebih unggul.

Beliau merupakan seorang ilmuan yang sangat bijak, benar pandangannya, mempunyai fitrah yang menakjubkan, mempunyai ingatan yang kuat, daya tangkap yang tajam, pandangan yang mendalam dan berkebolehan menyelami makna-makna yang terperinci sehingga gurunya Al-Juwaini menyifatkannya dengan perkataannya: “ Al-Ghazali adalah lautan yang dalam”. Al-Hafiz ‘Abdul Ghafir bin Isma’il menyifatkan Al-Ghazali pada peringkat ini, bahawa beliau seorang yang bersungguh-sungguh dan berijtihad sehingga beliau dapat menyelesaikan pendidikan dalam waktu yang singkat, mengalahkan generasi-generasinya. Inilah kelebihan yang terdapat dalam diri Imam Al-Ghazali. Beliau tidak pernah jemu menuntut ilmu dan beliau sentiasa ada kemahuan untuk mengetahui sesuatu ilmu secara lebih mendalam.

Al-Gahazali menetap di Nisabur sehingga wafat Imam Al-Haramain pada tahun 478 Hijrah. Selepas itu, beliau telah merantau pula ke perkhemahan sultan untuk berjumpa dengan wazir “ Nazzam Al-Malik” yang majlis ilmunya dihadiri oleh ramai ulama dan ahli fashahah. Di sini merupakan tempat perdebatan ilmu dan beliau telah menonjolkan dirinya dengan mengalahkan lawannya sehingga beliau telah terkenal di seluruh daerah. Beliau tetap berada di perkhemahan sultan sehingga tahun 484 Hijrah. Beliau telah dilantik untuk mengajar di madrasah An-Nazzamiyyah di Baghdad. Lalu beliau pergi ke Iraq untuk menjalankan tugasnya di mana ketika itu umurnya mencecah tiga puluh empat tahun. Kedatangan beliau telah disambut dengan meriah.
Orang ramai begitu kagum dengan keindahan perkataannya, kefasihan lidahnya, huraiannya yang terperinci dan isyarat-isyaratnya yang halus. Kehormatan dan kedudukannya semakin tinggi di Baghdad sehingga beliau telah mengalahkan kedudukan pembesar-pembesar ulama , pemimpin-pemimpin (umara’) dan darul khilafah. Beliau juga telah menjadi Imam Iraq selepas Imamah Khurazan yang tsiqah iaitu Abdul Ghafir. Sesungguhnya beliau telah mencapai kejayaan dan menikmati kamanisan dunia yang fana dengan keharuman nama dan kemasyhuran. Walaupun begitu, beliau tidak pernah berhenti dari menuntut ilmu. Justeru beliau telah mempelajari ilmu-ilmu halus ( Ad-Daqiqah) yang menyebabkan berlaku peralihan total dalam kehidupan beliau. Beliau telah menyedari bahawa tidak ada ketamakan dalam mencapai kebahagiaan akhirat melainkan dengan taqwa dan menjauhkan diri dari kehendak hawa nafsu. Untuk mencapai semua itu adalah dengan memutuskan hubungan hati dari dunia dan berpaling dari dunia yang memperdayakan,berpaling dari kedudukan dan harta benda serta melarikan diri dari segala kesibukan dan ikatan dunia lalu kembali kepada akhirat yang kekal dan menghadap hakikat kepentingan kepada Allah Ta’ala.

Beliau telah membuat perhitungan ke atas segala amalan yang telah dilakukan selama ini dan beliau dapati yang paling baik ialah mengajar dan mendidik, tetapi beliau dapati dirinya menghadap kepada ilmu-ilmu yang tidak penting dan tidak mendatangkan manfaat di jalan akhirat. Selepas itu, beliau telah muhasabah tentang niat dalam pengajaran dan beliau dapati ia tidak ikhlas kerana Allah Ta’ala, bahkan faktor dan penggerak utamanya ialah mengejar kemewahan dan menyebarkan nama baik, maka beliau telah membuat kesimpulan bahawasanya beliau sedang berada di tepi jurang yang hampir runtuh dan beliau merasakan beliau akan jatuh ke dalam api neraka jika beliau tidak berusaha untuk merubah keadaan.

Beliau telah berazam dan bertekad untuk keluar dari Baghdad tetapi beliau telah tewas dengan nafsunya sendiri sehingga 6 bulan beliau telah berperang dengan tarikan nafsu dan godaan syaitan. Pada bulan Rejab tahun 488 Hijrah, telah berlaku peristiwa yang menyebabkan beliau terpaksa meninggalkan tugas-tugasnya di mana beliau tidak mampu mengajar kerana kehilangan kata-kata. Setelah itu beliau bermujahadah kepada Allah agar dipulihkan dirinya agar beliau mampu mengajar pada suatu hari nanti untuk memperbaiki hati-hati manusia. Beliau sentiasa berdoa kepada Allah dan Allah telah memakbulkan doa orang yang menderita. Keadaan tersebut telah memudahkan dirinya berpaling dari kemewahan , harta benda, anak-anak dan sahabat-sahabat. Selepas itu beliau telah keluar menuju ke Makkah.

Beliau telah meninggalkan Baghdad pada bulan Zulkaedah tahun 488 Hijrah dan telah menunaikan haji seterusnya menuju ke Syam. Di sana beliau telah menetap selama sepuluh tahun dan sebahagian waktunya dihabiskan di Baitul Maqdis. Kebanyakan waktu beliau digunakan untuk ber’uzlah dan khalwat, riyadhah ( latihan) dan mujahadah diri. Beliau sibuk mensucikan dan menjernihkan hatinya dengan berzikir kepada Allah Ta’ala dan beliau beri’tikaf di menara masjid Damsyiq sepanjang hari. Ketika ini beliau telah menyusun beberapa buah karangan yang terkenal seperti ‘Ihya’ Ulumuddin’ dan kitab-kitab yang diringkaskan daripadanya seperti Al-Arba’in dan risalah –risalah yang lain. Setelah ber’uzlah selama sepuluh tahun, beliau telah kembali ke negerinya iaitu Thus untuk meneruskan ‘uzlahnya. Namun di bawah desakan para wali dan permintaan yang berulang kali agar beliau keluar kepada manusia untuk mengajar, maka beliau pun keluar ke Nisabur untuk mengajar di Madrasah An-Nazzamiyyah pada bulan Zulkaedah tahun 499 Hijrah. Beliau telah memasang azam, tekad dan niat yang baru ketika keluar mengajar dan menyebarkan ilmu. Segala-gala yang dilakukan dengan tujuan yang berbeza sama sekali dengan yang sebelumnya. Ia adalah semata-mata kerana Allah dengan tekad untuk memperbaiki dirinya sendiri dan orang lain.

Beliau menetap dan mengajar di Nisabur dalam jangka masa yang singkat. Setelah itu, beliau telah kembali ke rumahnya di Thus. Beliau telah menjadikan kawasan rumahnya sebagai madrasah penuntut ilmu dan mengkhaskannya untuk tasawwuf. Beliau telah membahagikan waktu kepada beberapa tugas iaitu menghafal Al-Quran, duduk dengan ahli-ahli hati, mengajar panuntut ilmu, mengerjakan solat dan puasa. Dengan demikian tidak pernah kosong waktunya dan orang-orang yang bersama dengannya dari perkara yang tidak berfaedah. Beliau telah meninggal dunia di Thus pada hari Isnin 14 Jamadil Akhir tahun 505Hijrah . Semoga Allah Ta’ala mencucuri rahmah ke atas rohnya,

SUMBANGAN IMAM AL-GHAZALI

Imam Al-Ghazali termasuk salah seorang dari tokoh-tokoh pemikir Islam yang mempunyai pelbagai pengetahuan dan kebudayaan yang luas. Beliau tidak menjurus kepada satu atau dua bidang ilmu dan pemikiran sahaja sebagaimana kebanyakan tokoh-tokoh Islam terkemuka yang lain.Jika disebut Ibnu Sina atau Al-farabi, maka akan terlintas di fikiran dua ahli falsafah agung dari ahli falsafah Islam dan jika disebut Imam Al-Bukhari , Muslim dan Ahmad, terlintas di fikiran tokoh-tokoh yang mempunyai kemampuan menghafal, amanah, teliti dan berpengetahuan. Tetapi berbeza sekali dengan Al-Ghazali, jika sebut namanya maka bercabanglah ilmunya dari seluruh aspek. Beliau adalah faqih yang bebas, Al-Ghazali mutakallim, Imam sunah dan pembelanya, Al-Ghazali yang berjiwa sosial, mengetahui hal ehwal alam, rahsia-rahsia diri dan selok belok hati. Beliau juga ahli falsafah yang bangkit menentang falsafah dan menyingkap apa yang ada padanya. Boleh dikatakan beliau adalah seorang lelaki yang mengetahui segala sesuatu dan dahaga kepada cabang-cabang pengetahuan.

Al-Ghazali adalah seorang tokoh Islam yang mendalami sesuatu ilmu secara terperinci. Beliau terkenal sebagai hujjatul Islam dan Pembaharu iaitu beliau akan membuat pembaharuan atau pemahaman yang lebih jelas mengenai sesuatu ilmu yang diterokainya. Beliau berbeza dengan ulama-ulama lain yang mana usaha mereka menghafal apa yang diterimanya, mengulangi dan menukilnya. Bahkan beliau seorang alim yang aktif, maklumat yang diterimanya diteliti dan diuji sejauh mana kebenaran dan kebatilannya. Oleh itu, ada kalanya beliau menolak, merubah atau menjelaskan dan menghuraikan lalu membuat pembaharuan. 

Karya-Karya Imam Al Ghazali Imam Al Ghozali termasuk penulis yang tidak terbandingkan lagi, kalau karya imam Al Ghazali diperkirakan mencapai 300 kitab, diantaranya adalah : 1. Maqhasid al falasifah (tujuan para filusuf), sebagai karangan yang pertama dan berisi masalah-masalah filsafah. 2. Tahaful al falasifah (kekacauan pikiran para filusifi) buku ini dikarang sewaktu berada di Baghdad di kala jiwanya di landa keragu-raguan. Dalam buku ini Al Ghazali mengancam filsafat dan para filusuf dengan keras. 3. Miyar al ‘ilmi/miyar almi (kriteria ilmu-ilmu). 4. Ihya’ ulumuddin (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama). Kitab ini merupakan karyanya yang terbesar selama beberapa tahun ,dalam keadaan berpindah-pindah antara Damakus, Yerusalem, Hijaz, Dan Thus yang berisi panduan fiqih, tasawuf dan filsafat. 5. Al munqiz min al dhalal (penyelamat dari kesesatan) kitab ini merupakan sejarah perkembangan alam pikiran Al Ghazali sendiri dan merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai tuhan. 6. Al-ma’arif al-aqliyah (pengetahuan yang nasional) 7. Miskyat al anwar (lampu yang bersinar), kitab ini berisi pembahasan tentang akhlak dan tasawuf. 8. Minhaj al abidin (jalan mengabdikan diri terhadap tuhan). 9. Al iqtishad fi al i’tiqod (moderisasi dalam aqidah). 10. Ayyuha al walad. 11. Al musytasyfa 12. Ilham al –awwam an ‘ilmal kalam. 13. Mizan al amal. 14. Akhlak al abros wa annajah min al asyhar (akhlak orang-orang baik dan kesalamatan dari kejahatan). 15. Assrar ilmu addin (rahasia ilmu agama). 16. Al washit (yang pertengahan) . 17. Al wajiz (yang ringkas). 18. Az-zariyah ilaa’ makarim asy syahi’ah (jalan menuju syariat yang mulia) 19. Al hibr al masbuq fi nashihoh al mutuk (barang logam mulia uraian tentang nasehat kepada para raja). 20. Al mankhul minta’liqoh al ushul (pilihan yang tersaing dari noda-noda ushul fiqih). 21. Syifa al qolil fibayan alsyaban wa al mukhil wa masalik at ta’wil (obat orang dengki penjelasan tentang hal-hal samar serta cara-cara penglihatan). 22. Tarbiyatul aulad fi islam (pendidikan anak di dalam islam) 23. Tahzib al ushul (elaborasi terhadap ilmu ushul fiqiha). 24. Al ikhtishos fi al ‘itishod (kesederhanaan dalam beri’tiqod). 25. Yaaqut at ta’wil (permata ta’wil dalam menafsirkan al qur’an).

Dikutip Dari: http://www.2lisan.com/biografi/tokoh-islam/biografi-imam-al-ghazali/


AL-GHAZALI DAN ILMU KALAM

Al-Ghazali memberi sumbangan yang cukup besar dalam perkembangan Ilmu Kalam. Beliau telah mengarang begitu banyak penulisan berkaitan dengan Ilmu Kalam. Dalam penulisan beliau, Al-Ghazali banyak mematahkan hujah-hujah daripada pihak yang keterlaluan ketika membahaskan isu-isu yang timbul daripada perbincangan Ilmu Kalam. Al-Ghazali lebih tertarik membahaskan Ilmu Kalam menurut metodologi para sahabat dan juga Rasulullah. Beliau menguatkan hujah-hujahnya berteraskan Al-Quran, As-Sunah dan perbahasan para sahabat.

Pernah disebut dalam sejarah, Imam Al-Ghazali tidak menyukai majlis-majlis perdebatan berkaitan Ilmu Kalam. Jika dijemput ke majlis seperti itu, beliau hanya berdebat dengan menggunakan metodologi yang tersebut di atas. Beliau berpendapat perdebatan yang diasaskan kepada hujah akal tanpa berpaksikan kepada sumber primer iaitu Al-Quran dan Assunnah hanya akan menambahkan lagi kerisauan dan kecelaruan dalam masyarakat Islam pada ketika itu.

Justeru itu, Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ ulumuddin ketika membincangkan berkaitan dengan teori dan konsep ilmu tidak meletakkan Ilmu Kalam sebagai satu ilmu yang bermanfaat kepada masyarakat. Bahkan beliau menganggap sesiapa yang keterlaluan dalam membincangkan isu-isu berkaitan dengan sifat dan perbuatan Allah adalah termasuk di dalam golongan orang yang melakukan bid’ah di dalam Islam. Beliau menyatakan bahawa ilmu kalam tidak bermanfaat kepada manusia kerana dua sebab; pertama, ilmu ini tersimpang jauh dari matlamatnya yang utama iaitu mengenal Allah. Kedua, perbincangan ahli Ilmu Kalam terlalu jauh sehingga menyimpang daripada apa yang dibincangkan oleh para ulama’ salaf.


AL-GHAZALI DAN FALSAFAH

Perbahasan berkaitan dengan isu-isu Ilmu Kalam telah membuka ruang kepada golongan munafiq dan musuh-musuh Islam menimbulkan keraguan kepada akidah dan pegangan umat Islam. Menyedari hakikat tersebut dan didorong atas rasa tanggungjawab setelah melihat tiada seorang pun ulama pada ketika itu bangun menentang musuh-musuh Islam yang menggunakan ilmu falsafah sebagai senjata utama melemahkan pegangan akidah umat Islam, Al-Ghazali bangun menentang hujah-hujah golongan tersebut.

Pada mulanya, beliau langsung tidak mengetahui berkaitan dengan ilmu falsafah. Namun atas rasa tanggungjawab membela agama Allah, beliau mempelajari dengan semangat dan ketekunan yang tinggi. Beliau mengkaji penulisan-penulisan yang berkaitan dengan ilmu falsafah terutamanya ilmu falsafah Yunani. Dengan kesibukannya mengajar ilmu-ilmu agama, beliau menggunakan masa terluang untuk mempelajari ilmu falsafah secara individu tanpa berguru dengan mana-mana guru falsafah yang terkenal. Dengan niat yang ikhlas untuk membela agama Allah daripada serangan ilmu falsafah khususnya ilmu falsafah ketuhanan Yunani, Allah SWT memberikan kepadanya ilmu-ilmu berkaitan falsafah dalam tempoh masa yang singkat iaitu kurang dari dua tahun.

Al-Ghazali memberikan sumbangan yang besar dalam bidang ini khususnya meneroka bidang baru berkaitan falsafah Islam. Setelah menganalisa ilmu falsafah yang dipelajarinya, Al-Ghazali membahagikan golongan yang membahaskan falsafah kepada tiga golongan; pertama, atheis, kedua, natural dan ketiga theologi. Golongan pertama ialah golongan yang mengingkari wujudnya pencipta yang mentadbir seluruh alam ini. Golongan kedua ialah golongan ilmuan yang banyak mengkaji berkaitan dengan tabiat, kejadian dan anatomi manusia, tumbuhan serta haiwan. Golongan ini mendakwa apabila mati mereka tidak akan hidup semula, justeru mereka menafikan adanya hari akhirat. Golongan ketiga adalah ahli theologi iaitu ahli yang membincangkan soal-soal ketuhanan seperti Plato, Aristotle dan Sokratus. Golongan ini membahaskan perkara-perkara berkaitan tuhan dengan bersumberkan akal.

Selain itu, Al-Ghazali adalah orang pertama yang mengklasifikasikan semula ilmu falsafah kepada enam bahagian iaitu matematik, mantiq, fizik, ketuhanan, siasah dan akhlak. Matematik menurut Al-Ghazali ialah berkaitan dengan ilmu hisab dan kejuruteraan. Ia tidak berkaitan dengan perbahasan dari sudut agama. Mantiq pula ialah ilmu yang berkaitan dengan logik akal dan bagaimana akal sebagai agen penyusun hujah-hujah yang dikemukakan. Ilmu fizik pula berkaitan dengan kajian alam, langit, bintang-bintang, air, udara dan alam seluruhnya. Selain itu, ilmu ketuhanan dalam falsafah mengkaji aspek ketuhanan dari perspektif akal. Ilmu ketuhanan ini didasari oleh perbincangan mantiq dan logik. Ilmu ini menurut Al-Ghazali tersimpang daripada falsafah ketuhanan yang sebenar. Siasah menurut Al-Ghazali adalah perkara yang berkaitan dengan unsur-unsur keduniaan yang membantu manusia menjalani kehidupan seharian dengan lebih baik. Ilmu yang terakhir dalam ilmu falsafah menurut Al-Ghazali ialah akhlak iaitu ilmu yang berkaitan bagaimana seseorang menjalani kehidupan seharian dengan sikap dan peribadi yang mulia.

Kepakaran Al-Ghazali dalam bidang falsafah tidak dapat disanggah lagi. Hakikat ini telah disuarakan oleh Dr Sulaiman Dunia, sarjana Islam terkenal dengan menyatakan bahawa perbahasan Al-Ghazali mengenai masalah-masalah falsafah adalah jauh lebih baik daripada perbahasan ahli-ahli falsafah sendiri. Justeru itu, dalam kitabnya Dr Sulaiman Dunia membuat kesimpulan bahawa metodologi yang diasaskan oleh Al-Ghazali adalah lebih jelas dan terperinci. Antara penulisan terkenal Al-Ghazali dalam bidang falsafah ialah Maqasid Al-falasifah, Al-Munqiz min aldhalal dan Tahafut Al-falasifah.
Abu Hassan An-Nadawi juga menyifatkan Al-Ghazali sebagai seorang yang istimewa seperti yang diungkapkannya di dalam salah satu penulisannya ( “ ….dan kaum muslimin sangat memerlukan kepada pengarang dan pengkaji seperti ini, yang akan menghadapi falsafah dengan penuh keimanan dan kepercayaan, berfikiran bebas dan mempunyai keberanian ‘ilmiah untuk mengingkari kemaksuman falsafah, kequdusan dan kegeniusannya dan kedudukan mereka mengatasi kedudukan akal dan fikiran manusia biasa. Sifat ini dipunyai oleh Al-Ghazali seperti dalam kitabnya Tahafut Al-Falasifah, maka beliau datang pada waktunya dan memenuhi hajat zamannya”.).

Kesimpulannya, Al-Ghazali memainkan peranan yang penting dalam perkembangan ilmu falsafah Islam. Beliau dapat menyelamatkan akidah umat Islam dari terus direntap oleh fahaman falsafah Ketuhanan Yunani yang tidak bertauhidkan kepada agama yang suci; Islam. Sekiranya Al-Ghazali tidak bangun untuk mempertahankan kemurnian Islam pada ketika itu, kemungkinan pada hari ini kita masih lagi mengagung-agungkan falsafah Yunani tanpa menyedari bahawa akidah kita telah terpesong secara halus. Nauzubillah min zalik.


AL-GHAZALI DAN TASAWWUF

Kita telah ketahui bahawa Al-Ghazali telah menjadi ahli falsafah kemudian beliau telah membongkar keburukan ilmu falsafah dan meneroka ilmu baru berkaitan falsafah. Beliau menyerang habis-habisan ilmu falsafah ketuhanan Yunani. Begitu juga dengan tasawwuf. Apabila beliau melibatkan diri menjadi sebahagian dari ahli sufi, beliau sekali lagi membersihkan tasawwuf daripada perkara-perkara kurafat dan daripada perkara yang terkeluar dari pengamalan agama Islam yang sebenar. Namun begitu dalam bidang tasawwuf, Al-Ghazali mempunyai guru. Antara gurunya yang termashur ialah Al-Junaid dan Al-Harith Al-Muhasibin. Al-Ghazali dilihat tidak pernah berdiam diri apabila menyedari pengamalan tasawwuf yang diamalkan oleh segelintir masyarakat pada zamannya terpesong daripada ajaran Islam. Beliau dengan tegas menjelaskan, menghuraikan dan memberikan konsep yang tepat kepada masyarakat pada zamannya. Selain itu, jika Al-Ghazali menyedari kesalahan yang dilakukan oleh masyarakat dalam bidang tasawwuf, beliau akan melemparkan kritikan yang membina yang bertujuan untuk membetulkan kesalahan dan menghalang daripada penyelewengan yang berlaku berterusan sehingga mencemarkan kemurnian Islam.

Setelah penelitian kritis yang dilakukan oleh AL-Ghazali beliau mendapati ahli sufi pada zamannya terpesong daripada jalan sebenar akibat daripada kecetekan dan kejahilan terhadap ilmu yang berpunca daripada kesibukan mereka beribadat semata-mata. Justeru itu, Al-Ghazali telah mencadangken kepada khalayak pada ketika itu supaya mendalami dan menguasai ilmu yang berkaitan dengan tasawwuf sebelum tekun beribadah. Ini menjamin pengamalnya tidak tersimpang daripada jalan yang sebenar. Sebagai buktinya, jika ditinjau metodologi penulisan Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ulumuddin kita akan dapati bahawa Al-Ghazali memulakan kitabnya dengan perbahasan berkaitan teori dan konsep ilmu, kemudian beliau membahaskan berkaitan dengan fiqh ibadah atau konsep ibadah menurut perspektif hukum Islam. Selepas itu, Al-Ghazali menulis berkaitan dengan fiqh muamalah iaitu teori, hukum yang berlaku dalam kehidupan seharian. Selepas menerangkan teori-teori penting berkaitan dengan ilmu, ibadah dan muamalat, barulah Al-Ghazali membincangkan aspek-aspek tasawwuf seperti hati, sabar dan sifat-sifat lain yang berkaitan dengan zuhud dan peribadi mulia.

Antara penulisan terkenal Al-Ghazali dalam bidang tasawwuf ialah kitab Ihya’ulumuddin. Kitab ini telah menjadi rujukan penting ilmu fiqh dan tasawwuf di serata dunia dari zaman penulisannya hingga ke hari ini. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa lain seperti Bahasa Melayu , Parsi, Urdu, Bahasa Inggeris dan Bahasa Perancis. Selain itu, kitab ini menjadi sumber rujukan ulama’ di rantau alam melayu. Hasilnya lahirlah kitab Siyar assalikin dan Hidayatul salikin serta lain-lain kitab tasawwuf yang ditulis oleh ulama’-ulama; kelahiran Nusantara seperti ulama’ kelahiran Patani, Palembang dan semenanjung tanah melayu. Antara pendorong Al-Ghazali menulis kitab ini ialah kerana kesedarannya yang tinggi terhadap penyelewengan teori dan konsep fiqh serta tasawwuf dalam masyarakat. Kitab ini secara terperinci menjelaskan hubung kait antara fiqh dan tasawwuf. Metodologi Al-Ghazali ketika menulis kitab ini ialah dengan merujuk pertamanya kepada sumber primer iaitu Al-Quran dan Sunah. Kemudian diikuti dengan athar-athar sahabat dan tabi’in. Setelah merujuk pada sumber primer dan sekunder barulah Al-Ghazali mengutarakan pemikirannya terhadap konsep yang ditulisnya.

Kehadiran kitab Ihya’ulumuddin memberi implikasi besar dalam pengajian tasawwuf. Sumbangan ini adalah cukup besar dalam bidang tasawwuf kerana Al-Ghazali telah memurnikan semula ilmu tasawwuf daripada kesesatan dan bid’ah.


AL-GHAZALI DAN ILMU FIQH

Kitab Ihya’ulumuddin bukan sekadar membawa pembaharuan dalam bidang tasawwuf bahkan membawa pembaharuan dalam bidang penulisan ilmu fiqh. Jika diteliti, kita akan dapati Al-Ghazali menerokai metodologi penulisan baru fiqh yang berasaskan kepada gabungan antara ilmu fiqh dan tasawwuf. Selain itu gaya bahasanya cukup menarik dengan menggunakan susunan tatabahasa yang mudah. Di dalamnya kita dapat membaca fiqh dan tasawwuf dalam waktu yang sama. Sebagai contoh, ketika menghuraikan berkaitan solat, Al-Ghazali bukan sekadar menulis berkaitan teori dan amali perlakuan solat berserta rukun-rukunnya, bahkan beliau juga menekankan soal kehadiran hati, khusyuk dan khuduk dalam perlakuan solat.
Perbahasan berkaitan kehadiran hati, khusyuk dan khuduk adalah intipati daripada ilmu tersebut. Selain itu, ketika Al-Ghazali menulis berkaitan muamalat. beliau bukan sahaja mengkhususkan berkaitan teori jual beli dan untung, bahkan beliau menulis berkaitan dengan keperluan-keperluan kaum muslimin yang perlu dipenuhi sebagai tuntutan fardu kifayah dan mutiara nasihat kepada pembekal dan pembeli ketika melaksanakan urusan muamalat. Kesimpulannya, kehadiran kitab Ihya’ulumuddin membuka dimensi baru metodologi penulisan fiqh dan tasawwuf, Penggabungan ini membawa faedah besar dalam kehidupan seharian manusia.

Buku ini merupakan sebuah buku yang amat menarik. Ia merupakan bahan bacaan yang sesuai untuk golongan dewasa kerana penghuraian yang begitu detail. Jika ditinjau dari sudut isi, ia memberi gambaran yang terperinci mengenai keperibadian dan sumbangan tokoh dalam beberapa cabang ilmu seperti ilmu fiqh, tasawwuf, ilmu kalam. Penulis juga tidak lupa untuk menyelitkan sari kata dari Imam Al-Ghazali sendiri untuk memberi penghayatan yang sebenarnya tentang sesuatu kisah yang dialami oleh tokoh ini.beliau telah pergi jauh sehingga mampu untuk mengcungkil dan mengorek segala permasalahan dan segala kepincangan dalam sesuatu bidang ilmu itu. Ternyata pemikiran beliau dapat mengatasi ilmuan-ilmuan pada zaman itu.

Sekiranya beliau masih ada pada zaman kini, beliau pasti menjadi seorang tokoh ilmuan yang cukup hebat dari sudut ilmu dan pengamalan. Dengan kecanggihan ilmu teknoolgi dan komunikasi serta pemerolehan maklumat tanpa sempadan kini pasti akan digunakan sepenuhnya oleh beliau untuk menggali segala ilmu dan pengetahuan tanpa terhenti dalam satu bidang sahaja sebagaimana yang ada pada tokoh ilmuan pada masa kini. Tidak mustahil dengan kecanggihan ilmu yang ada, beliau mampu menulis lebih banyak buku hasil gabungan pengajian islam dengan bidang-bidang lain seperti ekonomi, sosial, politik, hubungan antarabangsa, geografi, sains dan bidang-bidang lain. Sudah tentu buku-buku yang dihasilkannya menjadi sumber rujukan di seluruh pelosok dunia kerana saya menyedari bahawa apabila Al-Ghazali mendalami sesuatu bidang pengetahuan sudah pasti beliau menjadi seorang yang menguasai bidang tersebut dengan izin Allah mengatasi cerdik pandai yang telah lama berada dalam bidang tersebut. Ini dapat dibuktikan dalam setiap ilmu yang diceburinya sentiasa ada pemikiran-pemikiran baru yang bersifat pembaharuan atau pengembangan konsep yang dikemukakan oleh ilmuan terdahulu sebelumnya.
Semoga pada zaman ini akan lahir ilmuan-ilmuan Islam yang mampu menguasai ilmu sebaik Al-Ghazali. Masyarakat Islam menanti dengan penuh harapan kehadiran ilmuan Islam yang boleh digelar sebagai Al-Ghazali 2. Al-Ghazali telah lama pergi, ulama’ datang silih berganti, namun sukar mencari pengganti, sebijak Al-Ghazali…..

IMAM SUYUTHI

Imam Suyuthi

Imam as-Suyuthi dalam kitabnya Husnal-Muhadharah menyebutkan perihal biografinya,. Beliau berkata : “Sesungguhnya saya mencantumkan dalam kitab saya ini perihal biografi pribadi sebagaimana yang telah dilakukan oleh para penulis sebelum saya.Tidak sedikit yang menulis sebuah buku kecuali dituliskan di dalam buku tersebut tentang biodata pribadi sang penulis, sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Abdul Ghaffar al-Farisi dalam kitabnya Tarikh Naisabur, Yaqut al-Hamawi dalam kitabnya Mujam al-Buldan dan Lisan ad-Din Ibnu al-Khathib dalam kitabnya Tarikh Gharnathah, dan al-Hafizh Taqiyuddin al-Farisi dalam kitab Tarikh Makkah, al-Hafizh Abu Al-Fadhl Ibnu Hajar dalam Qadha Misr, Abu Syammah dalam kitabnya ar-Rawdhataini dia adalah orang yang paling wara dan zuhud.

Masa Kelahiran Imam as-Suyuthi dan pertumbuhannya

Imam as-Suyuthi berkata : “Saya dilahirkan pada waktu Maghrib malam Ahad awal bulan Rajab pada tahun 849 H. Kemudian pada saat bapakku masih hidup saya dibawa kepada syaikh Muhammad al-Majdzub seorang pembesar para wali di samping Masyhad an-Nafisi, kemudian beliau mendo’akan saya.”
Dia menambahkan : “Saya tumbuh dalam keadaan yatim dan saya telah hafal al-Qur’an ketika berusia belum genap delapan tahun, juga saya telah hafal kitab al-‘Umdah[1], dan kitab Minhaj al-Fiqh[2], dan kitab al-Ushul[3] serta kitab Alfiyah Ibnu Malik.”
Dalam kitabnya an-Nur as-Safir halaman 51 al-Idrusi berkata : “Ayahnya meninggal pada malam senin tanggal 5 bulan Shafar tahun 855 H, kemudian dia mewasiatkannnya kepada Syaikh Kamal ad-Din bin al-Hammam, maka beliau pun menjaga, mengurus serta mendidiknya.”
Imam as-Suyuthi berkata : “Saya telah berkecimpung dalam dunia pendidikan pada awal tahun 864 H.Kemudian saya belajar Fikih, Nahwu dari beberapa ulama besar, saya belajar ilmu Faraidh kepada syeikh al-‘Allamah Syihabuddin asy-Syarmasahi yang dikatakan padanya : bahwasannya dia telah mencapai usia sepuh lebih dari seratus tahun.Allah Maha Mengetahui.Saya telah membaca dalam syarahnya dalam kitab al-Majmu’.”
Kemudian saya melanjutkan dengan mengajar bahasa Arab pada awal tahun 866 H.Pada tahun ini saya mulai menulis sebuah buku, adapun buka yang pertama saya tulis adalah buku : “Syarh al-‘Isti’adzah wa al-Basmalah”.Kemudian saya mewakafkannya kepada Syeikh al-Islam ‘Ilm ad-Din al-Bulqaini kemudian dia menulis kalimat pujian, dan senantiasa menyertakannya dalam fikihnya sampai dia meninggal kemudian dilanjutkan oleh anaknya.

Perjalanan Karir Intelektualnya

Imam as-Suyuthi telah mengabarkan kepada kami tentang perjalanan karir pendidikannya, beliau berkata : “Saya memulai perjalanan menuju Syam, kemudian Hijaz, Yaman, India, Maghrib dan at-Takrur[4].”
Kemudian dia mengabarkan juga tentang perjalanan Hajinya, beliau berkata : “Ketika saya menunaikan ibadah Haji saya meminum air Zam zam karena beberapa alasan, diantaranya : Karena saya ingin mencapai dalam ilmu fikih sampai layaknya derajat Syaikh Siraj ad-Din al-Balqaini, dan dalam bidang hadits laksana tingkatan Syeikh al-Hafizh Ibnu Hajar.”

Keilmuan dan Perannya dalam Bidang Ilmu Pengetahuan

Imam as-Suyuthi adalah seorang yang luar biasa di masanya, beliau adalah sumber dan gudangnya ilmu pengetahuan serta yang ahli dalam bidang sejarah Islam, Dia telah berusaha untuk mengumpulkan dan merumuskan berbagai macam ilmu di masanya.Karya-karyanya banyak hingga mencapai enam ratus karya tulis.
Dia berkata : “Saya telah dianugrahi untuk bergelut dalam tujuh disiplin ilmu : Tafsir, HAdits, Fikih, Nahwu, ilmu Ma’ani dan Bayan saya mendapatkannya melalui orang-orang Arab dan para ahli Balaghah bukan berdasarkan pada metode orang asing dan para Ahli Filsafat.”
Dia menambahkan : “Pada permulaan saya menuntut ilmu, saya belajar ilmu mantiq (ilmu logika) kemudian Allah menaruhkan rasa benci dalam hatiku akan ilmu tersebut.Bahkan saya mendengar bahwa Ibnu Shollah telah mengeluarkan fatwa keharamannya dan keharusan meninggalkan ilmu tersebut.Kemudian Allah menggantikannya dengan ilmu hadits yang merupakan ilmu paling mulia.”

Akhlak Imam Suyuthi dan Pujian Ulama kepadanya

Najmuddin al-Qurra dalam kitabnya “al-Kawakib as-Sairah Bi ’Ayani al-Mi’ah al-’Asyirah” berkata : “Tatkala dia berusia empat puluh tahun dia memfokuskan dan menyibukkan dirinya untuk beribadah kepada Allah, dan menjauhkan diri dari kehidupan dunia dan penduduknya seakan-akan dia tidak mengenal seorang pun, kemudian dia mulai menulis karya-karyanya, lalu dia meninggalkan fatwa dan mengajar, dia meminta udzur akan hal tersebut yang dia paparkan dalam karyanya “at-Tanfis”.Kemudian dia melanjutkan hal tersebut sampai dia meninggal, dia tidak membukakan pintu rumahnya di pesisir sungai an-Nil dari ketukan penduduk.Kemudian orang-orang terpandang para wali dan ulama berdatangan untuk menjenguknya, lalu mereka menyodorkan harta kepadanya, namun dia menolaknya.Begitu juga an-Nuri memberikan seorang budak dan uang sebanyak seribu dinar, kemudian dia mengembalikan uang tersebut dan mengambil budak lalu dia memerdekakannya dan menjadikannnya pelayan di ruangan an-Nabawiyyah, kemudian dia berkata kepada sang Sultan : “Janganlah kamu datang kepada kami dengan hadiyah, karena sesungguhnya Allah telah menganugrahkan kepada kami dari hadiah-hadiah tersebut.Dia tidak memihak dan membeda-bedakan antara sultan dan yang lainnya.Dia memintanya untuk hadir ketempatnya berulang-ulang namun dia tidak datang.
Al-’Idrusi dalam kitabnya an-Nur as-Safir ’an Akhbar al-Qarn al-’Isyrin mengatakan : “Dikisahkan bahwasannya dia pernah berkata : “Suatu saat saya bermimpi seolah-olah saya bersama Rasulullah, lalu saya memperlihatkan kepadanya sebuah kitab yang saya tulis dalam bidang hadits yaitu kitab “Jam’u al-Jawami’”Kemudian saya berkata : “Bacalah oleh kalian sedikit saja dari kitab ini.”Lalu beliau bersabda : “Bawalah kemari wahai ulama hadits, kemudian dia berkata lagi : “Ini adalah kabar gembira buatku yang paling agung dan mulia daripada dunia dan segala isinya.”

Karya-karyanya

Imam as-Suyuthi telah meninggalkan karya-karyanya begitu banyak dalam berbagai disiplin ilmu, dikarenakan beliau rajin menulis buku pada usia mudanya.
Dia berkata : “Saya mulai menulis buku pada tahun 866 H.Dan sampai sekarang-ketika dia menulis buku Husn al-Muhadhara- telah mencapai tiga ratus buku selain yang telah saya hapus dan saya perbaiki.”
Akan tetapi jumlah tersebut semakin bertambah pada masa-masa terakhir dalam hidupnya setelah ditulisnya kitab “Husn al-Muhadharah”.Al-’Idrusi dalam kitabnya An-Nur as-Safir halaman 52 mengatakan : “Karya-karyanya telah mencapai jumlah hingga enam ratus karya selain yang dia perbaiki dan yang tercuci.”
Diantara karya-karyanya yang terkenal, antara lain :
· Al-Itqan Fi ’Ulum al-Quran.
· Ad-Dur al-Mantsur fi at-Tafsir bi al-Ma’tsur.
· Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul.
· Mufahhamat al-Aqran fi Mubhamat al-Qur’an.
· Al-Iklil fi Istinbath at-Tanzil.
· Takammulah Tafsir Syaikh Jalaluddin al-Mahalli.
· Hasyiyah ’Ala Tafsir al-Baidhawi.
· Tanasuq ad-Durar fi Tanasub as-Suar.
· Syarh asy-Syathibiyyah.
· Al-Alfiyyah fi al-Qiraat al-Asyr.
· Syarh Ibnu Majah.
· Tadrib ar-Rawi.
· Is’af al-Mubaththa birijal al-Muwaththa.
· Al-Alai’ al-Mashnu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah.
· An-Naktu al-BAdi’at ‘Ala al-Maudhu’at.
· Syarh as-Shudur Bi Syarh Hal al-Mauta wa al-Qubur.
· Al-Budur as-Safirah ‘An Umur al-Akhirah.
· Ath-Thib an-Nabawi.
· Ar-Riyadh al-Aniqah fi Syarh Asma’ Khair al-Khalifah.
· Al-Asybah wa An-Nadhair
· Jam’u al-Jawami’
· Tarjumah an-Nawawi.
· Diwan Syi’r
· Tuhfah azh-zharfa’ Bi Asma’ Al-Khulafa’
· Tarikh Asyuth
· Tarikh al-Khulafa’

Meninggalnya Imam As-Suyuthi

Al-‘Idrusi berkata : “ Imam As-Suyuthi meninggal Pada waktu Ashar tanggal sembilan belas Jumadil Ula tahun 911 H.Dia dishalatkan di MAsjid Jami’ al-Afariqi di ruangan bawah.Kemudian dia dimakamkan di sebelah timur pintu al-Qarafah.Sebelum meninggalnya dia mengalami sakit selama tiga hari.”

Referensi...

[1] Kitab al-Umdah al-Ahkan karya Ibnu Daqiq al-’Id.
[2] Kitab Minhaj ath-Thalibin karya an-Nawawi.
[3] Kitab Minhaj al-Wushul Ila ’Ilm al-Ushul karya al-Baidhawi.
[4] At-Takrur adalah sebuah wilayah yang dinisbatkan kepada sebuah kabilah dari Sudan pada bagian selatan Maghrib.